BU BIDAN

Bookmark and Share
by bid foka

“Bu bidan, ada yang mau melahirkan.....” ketuk seseorang dari luar pintu rumah luna seraya bersuara keras. Jantung luna hampir berhenti berdetak.

Matanya yang sedari tadi tidak mampu dipejamkannya semakin membuktikan kalau firasatnya memang benar adanya. Setiap suara motor atau suara apapun, bahkan suara jangkrik berbunyi nyaring sekalipun membuat luna waspada.

Tidak ada yang salah dengan orang itu, masalah terbesarnya adalah, orang-orang dikampung luna menganggap dirinya bidan yang seakan sudah punya jam terbang tinggi dan telah membantu persalinan ribuan orang. Padahal baru dua minggu yang lalu luna merayakan kelulusannya dari sebuah akademi kebidanan di kota yang jaraknya lebih kurang 120 km dari kampungnya.

“Bu bidan...” suara di luar sana makin keras. Terdengar bisikan-bisikan beberapa orang. Luna meyakini tidak hanya satu orang yang ada di luar sana. Tangan luna tiba-tiba pucat, keringat membasahi punggung baju tidurnya. Kepanikan luna berlomba dengan degup jantungnya yang semakin keras. Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar terbuka, yang diyakini luna adalah ibunya. Pasti ibu sudah menyadari keberadaan orang-orang tersebut.

Ayah luna adalah tuan tanah di kampungnya. Sehingga menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi merupakan suatu kebanggaan, apalagi profesi bidan yang masih di agung-agungkan di kampungnya. Dapat menyekolahkan anak di profesi kesehatan menunjukkan tingkat perekonomian yang mapan, karena yang mereka tau, kuliah di kebidanan tidaklah murah.

Tidak tahu apa yang ibu bicarakan dengan orang di luar sana, luna masih berdiri merapatkan telinganya di daun pintu kamarnya. Suara di luar sana kian ramai saja.

“Lun.....!” panggil ibu dari balik pintu kamarnya. Luna pura-pura tidak mendengar, berharap ibu akan menyerah dan mengatakan pada mereka kalau luna sedang istirahat atau mungkin sedang tidak bisa diganggu. Tapi panggilan itu semakin keras dan mendesak ditambah suara ketukan yang tidak kalah kuatnya.

“Luna......” Kali ini suara keras ayah, yang mengharuskan luna bangun sebelum mereka beramai-ramai mendobrak pintu kamar ini.

“Ya.......” jawab luna malas, suaranya dibuat selemah mungkin. Luna masih berharap orang tuanya berfikir kalau dirinya sakit!. Luna membuka pintu kamarnya dengan enggan. Matanya sengaja dikucek-kucek keras dan tidak beraturan seakan benar-benar baru terbangun.

“Ada ibu yang mau melahirkan lun, di ujung desa kita ini” kata ibu. Ibu mengalihkan pandangannya pada teras yang sudah tampak dengan jelas karena pintu sudah terbuka lebar. Terlihat 3 orang lelaki dan 1 perempuan di sana, luna tidak pernah mengenal mereka. Beberapa dari mereka menyodorkan wajahnya meneliti luna dari kejauhan. Tampak juga ayah yang sepertinya menyambut mereka dengan over ramah.

“Kenapa tidak panggil bidan tina bu....” tanya luna. Bidan tina sudah dikenal baik oleh warga kampung luna, dia ditugaskan oleh pemerintah sebagai bidan pegawai tidak tetap di kampung ini. Meski bidan tina bukanlah warga asli kampung ini, tapi kelihatannya dia memang mengabdi dengan baik. Hasilnya juga sudah terlihat, sebuah rumah berbatu dengan warna yang serasi berdiri megah di pangkal desa. Sudah 9 tahun lebih, bahkan keberadaannya sangat diakui dengan diangkatnya bidan tina menjadi pegawai negeri sipil tahun ini. Dambaan sebagian besar orang. Sebenarnya ada satu lagi bidan di kampung ini. Namanya silvi, seorang bidan PTT yang meneruskan langkah bidan tina. Tapi sayang, Puskesmas Pembantu yang menjadi posko selvi hanya menjadi tempat tinggal iyem, si penjaga. Karena silvi datang hanya pada saat ada pemeriksaan atau malah datang kalau mendekati gajian. Luna menyebutnya silvi karena usia mereka hanya terpaut dua tahun.

“Bu tina sedang mengunjungi keluarganya di kota lun, mertuanya sedang sakit...”
Luna gusar.

“Mereka minta tolong kamu untuk membantu persalinan salah satu kerabatnya...”

“Tapi luna baru lulus bu, luna bahkan belum pernah menolong orang melahirkan....” seru luna. Membagi perhatian orang-orang di luar sana. Mata luna memohon..

“Tapi kamu sudah sering melihat orang melahirkan, alat-alat kamu juga sudah ibu belikan. Pasti bisa luna...!!” bantah ibu.

“Dan orang di kampung ini tidak tau dan tidak mau tau kamu bisa atau tidak. Mereka taunya kamu sudah jadi bidan....” sambung ibu kemudian.

“Tapi bu....” luna tidak mau menyerah. Menolong orang melahirkan bukan seperti menjual dagangan yang risikonya hanya untung ataupun rugi. Luna masih mengingat dengan jelas kata-kata ibu fira dosennya dulu, bahwa ditangannya ada dua nyawa yang harus diselamatkan. Bagaimana kalau gagal...atau salah satu tidak tertolong, atau keduanya...fikiran luna berkecamuk.

“Bu bidan, tolong istri saya...” suara bariton dari luar tiba-tiba mengalihkan pandangan kami. Matanya memohon.

“Luna..jangan buat malu ibu. Seluruh kampung tau kalau kamu bidan. Bahkan ibu sudah bilang ke warga kalau sebentar lagi di rumah kita ini akan dibangun klinik...”Suara ibu sudah mulai menuntut.

Luna bingung, selama kuliah luna tidak pernah sekalipun menolong persalinan sendiri. Meskipun dalam tugas-tugas, luna sudah menyatakan membantu persalinan 50 orang, memeriksa kehamilan 100 orang, tapi itu hanya sebuah kebohongan.

bersambung

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar