by. bid foka
Aku masih tercekat dengan uno yang menggenggam lenganku erat. Bu Lotta berhenti tepat disisi kami, hanya dinding ruang yang memisahkan. Oh God, ngapain bu Lotta berdiri begitu lama, aku tak mampu bernafas sekalipun.
Terdengar lagu Peter Pan nyaring menyeruak kesunyian, semakin lama semakin jelas nyaringnya suara ariel...aku tidak tau apa yang terjadi, mataku terpejam dan jantungku masih berdetak berpacu saling berkejaran.
“iya, hallo..!!” sebuah suara pecah, suara bu Lotta tentunya. Suara yang kerap mewarnai hari-hari kami. Lebih tepatnya menghantui.
“Oh ya...saya sedang menunggu mahasiswa tk 2 pulang dinas bu..!!”
“Baik bu...” tegas bu Lotta, yang tiba-tiba melangkah pergi meninggalkan kami yang masih shock.
Cepat-cepat ku menarik nafas panjang, takut terjadi kerusakan otak karena terlalu lama membiarkan otakku tidak dimasuki oksigen. Dari kejauhan ku melihat bu Lotta bergegas menuju ke arah asrama. Barangkali si nenek sihir itu mendapat tugas dari para dosen atau mungkin pemilik sekolah ini. Tetapi yang lebih penting kami aman meskipun untuk sesaat.
“ Sampai kapan kita disini...” Hampir saja aku lupa, kalau ada uno disampingku.
“Sampai bus pengantar dinas datang, dan pintu gerbang di buka...” ujarku cepat, mataku masih mengawasi pak dodik.
“Net, bentar lagi apel malam..?” kejar uno.
“Sabar...napa sih!!”
“Sabar...sabar...!Banyak mosquito tau’..!” aku terkekeh melihat tangan uno yang sedari tadi aktif bergerak menepis nyamuk-nyamuk nakal di sekelilingnya. Nyamuk memang tidak bisa diajak kompromi.
Ku melihat bus besar berwarna putih, dengan kapasitas 50 orang mendekati gerbang kampus. Aku memastikan itu adalah bus pengantar kakak tingkat dinas. Pak dodik serta merta tergopoh-gopoh mendekati gerbang dan membuka daun pintunya yang sedari tadi terkunci rapat. Perlahan namun pasti bus mendekat ke arah garasi yang berada di utara kampus, tapi lampu sorotnya yang menyinari sekitar membuat kami kalang kabut. Ku melihat pak dodik mulai berjalan ke arah daun pintu gerbang sebelah kiri seirama dengan bel malam yang menandai tibanya apel malam.
“Net, udah bel....” uno panik. Bahkan akupun merasa lebih panik, aku sudah bertekad bulat untuk mengakhiri hari ini dengan keluar dan terbebas dari kampus ini. Niatku ini sudah kutanamkan sejak jauh-jauh hari. Tidak boleh gagal, bathinku..
“Net, udah bel kedua...., nanti pintu asrama kita ditutup...” rengek uno.
“Kamu masuk saja..” putusku.
“Serius net...”
Belum sempat uno tersadar, aku sudah berlari cepat menuju ke arah gerbang. Ku masih melihat pak dodik yang masih berkutat dengan gerbangnya, gerbang masih terbuka 2 meter, masih ada kesempatan. Sempat terdengar suara uno sayup-sayup memanggilku. Dan aku tidak perduli, semua harus dihentikan sekarang!!. Pak dodik terkesiap manakala melihatku tiba-tiba muncul di dekatnya dan semakin dekat menuju gerbang utama, tinggal 1 meter lagi aku akan terbebas dari asrama sialan ini, yang semakin memacu semangatku untuk segera kabur.
“Neta...” Panggil pak dodik. Aku tak perlu menghiraukannya, langkahku cepat mengambil daun pintu gerbang, tapi tertahan oleh tangan pak dodik yang sepertinya tau maksudku. Aku melawan sekuat mungkin. Aku tidak tau setan apa yang merasuki malam itu hingga pak dodik pun tidak mampu menahanku. Pintu gerbang coklat yang terbuat dari besi itu pun terbuka dan aku pun segera melangkah keluar. Tapi lagi-lagi cekalan tangan pak dodik menahan langkahku. Aku meronta sebisanya...
Pak dodik sibuk mengambil pengeras suara, dan menyebutkan nama bu Lotta berkali-kali. Akal sehatku sudah mulai hilang, ku gigit tangan pak dodik yang serta merta melepaskan genggaman tangannya seraya meringis. Aku bebas!! Aku berlari secepat mungkin. Untungnya jarak asrama dengan jalan raya utama hanya berjarak 200 meter. Sisi di kiri dan kanan jalan hanya ada perumahan penduduk yang mulai kelihatan gelap. Perasaanku mulai was-was, aku resah menanti selfi yang berjanji untuk menungguku di simpang jalan utama.
Aku berteriak gembira, melihat sosok yang sudah sangat ku kenal baik. Selfi, dengan rambut panjang terurainya tersenyum lebar menyambutku. Kuhampiri selfi dengan antusias. Sambil sesekali mencari hyundai yang biasa dikendarai selfi. Kami adalah sobat karib se masa SMA, sama-sama mengelola mading sekolah dan pastinya punya banyak mimpi yang sama. Selfi diterima di universitas nomor satu di daerah ini, jurusan sastra Inggris. Gayanya masih keren, sementara aku hanya memakai kemeja berbalut rok ¾ dengan sepatu hitam. Diam-diam aku merasa iri, tapi sebentar lagi ini akan berlalu...hiburku.
“Mana mobil kamu shelfi??” cecarku.
“ Ada..di pojok warung sebelah sana...” tangan selfi menunjuk pada sebuah mobil hitam yang sudah teramat ku kenal. Secepatnya kutarik tangannya mendekati mobil. Untungnya selfi menurut saja. Jarak 3 meter sebelum sampai, ku lihat sebuah sosok manis keluar dari mobil selfi. Sosok jangkung berkulit coklat yang berbalut kaus berwarna putih dengan motif sederhana. Mataku segera mencari selfi meminta penjelasan.
“ini ferdo.....temen kuliahku net..” senyum tersipu selfi yang menandai bahwa ada hubungan khusus di antara mereka selain pertemanan. Lagi-lagi aku menyesali diri, boro-boro mau punya teman cowok, bertemu sosok cowok saja menjadi barang langka di kampusku. Kecuali pak dodik dan tukang kebun, pria zaman dahulu kala yang sudah kadaluarsa.
Aku membalas senyuman manis ferdo seadanya, secepatnya aku masuk ke dalam mobil..kupilih di jok yang belakang, takut mengganggu mereka berdua. Fedro memegang kendali kemudi dengan gagahnya. Dan selfi di sampingnya duduk tidak kalah anggunnya. Pasangan serasi, bathinku..seraya ku melemparkan pandangan ke samping badan jalan. Mobil serta merta berjalan perlahan, aku memejamkan mata sambil mencoba mengingat kembali kejadian tadi. Pikiranku diliputi perasaan puas, dan kalut. Berkelebat wajah mama dan papa, bu Lotta, uno..secepat kilat ku coba menepis perasaan bersalah yang tiba-tiba menyeruak mengisi rongga dadaku.
Kubuka mataku, untuk menjernihkan pikiranku....Selfi tersenyum menatapku, wajahnya manis dan ayu. Sesekali ku pandang fedro...ada sedikit kecemburuan di mataku buat mereka.
Aku terhenyak tatkala kusadari arah mobil selfi bukan malah menjauh dari asrama kampusku, malah mendekat dan lebih mendekat. Dari kejauhan kulihat pak dodik membuka pintu gerbang yang tadi kuperjuangkan. Dari jarak 20 meter ku melihat bu Lotta, uno, si lola...dan beberapa kakak tingkat kepercayaan bu Lotta. Aku panik..
“selfi...!!! apa maksudmu!!” pekik neta.
“ Aku minta maaf net, ini demi kebaikanmu...” lirih selfi.
“ Aku nggak percaya shelfi...” tiba-tiba tangisku pecah. Sebuah persahabatan yang kuanggap sakral ternyata palsu dan telah dikhianati. Aku mencari sesuatu yang ada di saku rokku, HP ku??? Ohh..kenapa tidak ada.....!!
Aku bergegas keluar dari mobil yang masih berjalan perlahan, namun selfi menahan tanganku..
“Lepaskan selfi, dasar penghianat!!!”
“Aku tidak perduli net, mungkin kamu belum menyadarinya sekarang. Aku anggap kamu khilaf”
Balas selfi disertai kepanikan fedro.
Gerbang yang sedari tadi sudah menanti, menyambut kedatangan kami dengan damainya. Aku hopeless..!! hilang harapan. Ku melihat sosok-sosok yang ku kenal itu menyambutku. Bu Lotta dengan wajah datarnya membukakan pintu buat selfi...aku terdiam membisu dan beku. Aku tidak tahu harus berbuat apa...seluruh perasaan berkecamuk di otakku. Mataku menunduk tatkala mata bu Lotta menatapku seakan menusuk sampai ke jantungku...
bersambung
Home » BIDAN Story » BIDAN JUGA MANUSIA BIASA (3)
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar