By bid foka
Luna akhirnya menyerah.
Luna kembali ke kamarnya, dibukanya bidan kit tempat peralatan persalinan yang masih rapi lengkap terbungkus plastik. Diambilnya buku catatan kuliahnyanya di tumpukan buku-buku dalam kardus, dan membacanya cepat-cepat.
Luna mengingat lagi apa yang harus dipersiapkan untuk menolong persalinan. Luna menyisihkan partus set yang sudah dalam intrumen, diperiksanya peralatan yang ada di dalamnya. Ada gunting tali pusat, arteri, penghisap dee-lee, kebetulan luna membeli beberapa oksitosin, infus set dan obat-obatan yang diperlukan satu minggu yang lalu. Hanya untuk jaga-jaga saja sekaligus membuktikan kalau luna sudah resmi menjadi bidan. Luna memeriksa kembali catatannya...
“Lun, cepat kamu persiapkan...kasian ibu yang mau melahirkan itu lun...!” ujar ibu sambil menyusul luna masuk ke kamar. Kehadiran ibu secara tiba-tiba membuyarkan konsentrasi luna. Akhirnya dimasukkannya semua peralatan yang tidak tahu apakah perlu atau tidak ke dalam bidan kit. Yang penting semua peralatan ada, bathin luna.
Di tengah kegelapan luna membelah kesunyian malam. Ayah luna dengan sukarela mengantarkan luna malam ini. Sementara iring-iringan motor yang menjemput luna dibiarkan berada dalam posisi paling di depan. Menurut penjelasan ayah, ibu yang akan melahirkan ini bernama rina, usianya baru 17 tahun. Luna langsung menggaris bawahi bahwa pasien yang akan dia tangani adalah pasien dengan risiko tinggi. Menurut pelajaran yang luna dapatkan, ibu hamil <20th>35 tahun adalah ibu bersalin yang mempunyai kategori sangat berisiko. Bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diduga sebelumnya. Hal ini semakin membuat luna gugup.
Luna melihat dari jarak 50 meter di ujung jalan sebelah kiri sebuah rumah berdinding tepas yang ramai dikerumuni banyak orang. Luna khawatir mungkinkah itu rumah yang dituju. Tapi mendengar teriakan salah seorang yang berteriak menyeruak masuk ke dalam rumah sambil menyebutkan kata “bidan datang........!!!” seakan baru saja memenangkan undian memastikan dugaan luna. Kami disambut beberapa orang yang tiba-tiba keluar rumah melihat kedatangan kami. Motor yang berada paling depan berbelok ke arah rumah tersebut. Jantung luna semakin tidak menentu.
Luna makin takut dengan suasana ini, badannya yang tidak terlalu besar dengan wajah masih sangat muda seakan meragukan banyak orang. Terbukti beberapa pasang mata memperhatikannya lekat dari ujung kepala sampai ujung kaki. Untung ayah mampu meyakinkan mereka dengan keramahannya.
Suami rina langsung menuntun luna ke dalam rumah berukuran mungil ini, kamarnya ada dua. Rumahnya tidak terlalu besar, lantainya beralaskan semen, sebagian lagi tanah. Luna mengarah ke kamar ke dua. Beberapa ceracau orang-orang disekitar mengacaukan luna, jalannya lurus tanpa melihat wajah-wajah disamping kiri dan kanannya. Luna memasuki sebuah kamar yang hanya berpintukan kain, di dalam kamar itu tidak kurang ramainya. Ada 7 orang yang mengambil posisi di berbagai tempat. Mata luna langsung mengarah kepada seorang wanita yang mengerang kesakitan dalam posisi mengedan, tangannya dua-dua mengapit kedua pahanya hingga ke perut. Tempat tidur hanya beralaskan tikar, tanpa tilam. Bau bawang putih menyengat hidung luna...
“Maaf bu bidan, kami sudah memanggil mbah surti, karena bu bidan yang kami tunggu-tunggu belum datang..” seorang wanita setengah baya menjelaskan. Mata luna melihat dengan jelas di samping rina ada seorang nenek tua yang dengan antusias menyentuh serta membelai rambutnya. Mata mbah surti melirik rina sedikit. Ntah mengapa ada perasaan aneh, luna mencium aroma tidak bersahabat dari mbah surti. Bahasa tubuhnya yang bersahaja memiliki magnet yang mampu menghipnotis semua orang dengan kata-katanya.
Rina semakin gelisah, dan meraung keras....setiap kali dia menjerit..seketika itu pula orang-orang dalam ruangan itu panik. Luna memakai sarung tangannya. Dan luna ingin menerapkan seluruh ilmu yang telah dia dapatkan selama kuliah. Membuka pembungkus sarung tangan sekali pakai dari kertas pembungkus dan memegang ujung sarung tangan tersebut takut menyentuh badan sarung tangan yang berarti tidak steril. Luna masih mengingat dengan jelas, tangannya berkali-kali dicubit oleh bu Yuni pada waktu ujian APN, karena salah memakai sarung tangan. Tetapi yang terlihat dengan jelas adalah tangan luna bergetar, cepat luna menurunkan tangannya agar tidak kelihatan, tapi mata mbah surti sempat menangkapnya.
Luna terkejut mbah surti sudah memakai sarung tangan/handskun yang sama dengan luna dan keterkejutan luna tersebut seakan disadari oleh mbah surti.
“Saya sudah dilatih di puskesmas sama ibu-ibu bidan, sudah 30 tahun saya jadi paraji...” seakan tidak mau kalah mbah surti menunjuk pada peralatan yang ada di sudut tempat tidur. Meski hanya ada gunting dan arteri. Paraji adalah sebutan untuk dukun beranak.
Luna mulai memasukkan tangannya ke jalan lahir rina dan mulai melakukan pemeriksaan dalam. Rina menjerit kuat, tangan kiri luna memegang perut rina yang menegang tanda kontraksi. Semua mata tertuju pada luna, seakan faham sepenuhnya..luna mencoba menilai apa yang dirabanya. Sejujurnya yang dirasakan luna hanyalah tangannya yang terasa hangat dan panas berada di sana. Luna mendapati daerah yang lunak tapi tidak tahu apa, bahkan luna tidak tahu pembukaan yang mana, portio seperti apa, yang ia tahu di ujung tangannya ada benda keras seperti batu. Luna menyesali dirinya yang terlalu banyak bermain dan tidak pernah serius mengikuti perkuliahan, bahkan kalau sedang dinas di rumah sakit luna sering melarikan diri dari tugas-tugasnya.
“Bagaimana bu...” Tanya seorang ibu yang posisinya tepat di samping kepala rina, yang diyakini luna adalah ibunya.
“Ehm...bagus bu.....” jawab luna hati-hati, dan mengalihkan pandangannya ke arah yang lebih aman.
“Bagus bagaimana bu, sudah mau melahirkan, air ketubannya apakah sudah pecah?” kejar wanita yang lain lagi. Luna kikuk tapi dia mencoba tegas.
“Kita tunggu saja dan kita berdoa bu, mudah-mudahan baik-baik saja...” Ntah dari mana kata-kata bijak tersebut, tapi dengan kondisi dan situasi seperti ini tiba-tiba luna menjadi sangat dewasa melebihi usianya. Ingin rasanya semua ini segera berakhir, atau ada keajaiban hingga luna menghilang dari tempat ini. Tapi tidak mungkin. Dibukanya kembali hanskunnya.
Luna mengambil handphonenya, dia meminta ijin untuk keluar sebentar mencari tempat yang aman untuk menelpon. Dipilihnya sebuah nomor yang sudah sangat dikenalnya. Luna berencana untuk menghubungi salah seorang kakak seniornya, untuk menanyakan beberapa pertanyaan, tentu saja yang berkaitan dengan persalinan ini, tapi gagal...Tidak ada sinyal....Mati aku, maki luna. Beban ini terlalu berat untuk dipikul. Kalau dijinkan menangis, mungkin luna sudah menjerit meminta pertolongan. Luna sadar bahwa dalam situasi ini yang hanya bisa menolongnya adalah Tuhan, tidak henti-hentinya luna berdoa dalam hati agar hari ini dapat berlalu dengan menggembirakan..
Secepatnya luna kembali masuk ke ruangan. Dilihatnya mbah surti yang memerintahkan rina untuk kembali mengedan. Kedua tangan rina mengapit kembali kedua pahanya. Matanya mendelik seakan mau keluar. Luna tidak tega dengan keadaan ini, yang dia ketahui kalau kepala sudah di depan vulva baru ibu disuruh mengedan. Dilihatnya labia dan vulva rina sudah semakin memerah dan membesar dari normalnya. Pasti sebelum luna datang, rina sudah dipaksa mengedan terus oleh mbah surti, vonis luna.
“Rina sudah kelihatan capek, istirahat saja dulu......” luna mengambil air putih di samping kepala rina dan memerintahkan ibu rina untuk memberikannya pada rina.
“Ayo ngedan lagi....ini sudah mau melahrkan...” luna melihat mbah surti yang merasa paling tau di ruangan ini. Dominasinya membuat luna tidak nyaman.
Luna mengeluarkan peralatannya dari tas hitam yang dibawanya..
“Maaf bu...saya mau merebus peralatan ini supaya bebas dari kuman, ada yang bisa menolong saya..”pinta luna pada salah seorang yang berdiri di pintu masuk kamar ini.
Luna tau, sebelum melakukan pertolongan persalinan semua peralatan harus steril. Karena bisa menimbulkan risiko infeksi bila tidak dibebaskumankan. Dikeluarkannya peralatan yang dianggap penting. Ingin rasanya dia mengusir semua orang dan hanya meninggalkan ibu rina saja. Terutama mbah surti yang sok tau, tapi wajar juga dia berperilaku seperti itu, jam terbangnya sudah puluhan tahun...dan tentunya kepercayaan warga yang sudah diberikan kepadanya membuat mbah surti yakin akan kemampuannya. Ditambah lagi ada yang mengusik sumber mata pencahariannya.
Tapi melihat reaksi mbah surti yang mendorong perut rina dari atas fundusnya membuat luna panik..
“Maaf mbah, tidak boleh di dorong-dorong perut ibu nanti koyak jalan lahirnya” jelas luna seraya mencari kata yang lebih mudah dipahami. Lagi-lagi luna teringat pelajaran kuliahnya, yang mengatakan kalau perut ibu didorong pada fundusnya dapat mengakibatkan ruptur. Tapi mbah surti seakan menghipnotis semua orang. Lebih tepatnya mereka lebih percaya mbah surti dibanding luna, keberadaan luna hanya melegalkan apa yang dilakukan mbah surti. Mbah surti menghentikan kegiatannya tapi memberi perintah kepada wanita yang lumayan berbadan besar untuk meletakkan telapak tangannya di atas perut ibu yang paling menonjol.
“Bu, tidak usah di dorong...” perintah luna.
“Dorong saja....” balas mbah surti...Suara luna sepertinya hanya angin lalu, dorongan dari tangan wanita besar perlahan namun pasti dan semakin kuat.
Rina menjerit kuat, keringatnya mengucur bak butiran padi di seluruh tubuhnya. Rina menangis. Mbah surti sudah berada pada posisi memimpin persalinan, tangannya masuk kembali ke dalam jalan lahir rina. Luna tidak tau harus berbuat apa, di satu sisi dia benci dengan tindakan mbah surti karena apa yang dilakukannya bertolak belakang dengan ilmu yang didapatnya semasa kuliah dulu. Di sisi lain luna tidak mampu mengambil keputusan. Tepatnya luna bingung dan ketakutan.
Luna teringat peralatan persalinannya yang tidak sempat di sterilkan. Luna menaburkan cairan alkohol di peralatan yang akan dipakai, ilmu ini diketahuinya dari beberapa bidan praktek senior tempatnya berdinas selama kuliah. Meski luna tahu bahwa tindakan ini tidak akan mematikan kuman. Ini tindakan yang salah dan membahayakan.
“ayo dorong....’ perintah mbah surti, sambil melihat ke arah jalan lahir rina. Luna cepat mengambil posisi di sebelah mbah surti. Tampak rambut di jalan lahir rina....
“Dorong lagi...!” perintah mbah surti.
“Tidak perlu di dorong nanti ruptur.....” jawab luna lagi, meski luna tahu banyak dari mereka yang tidak mengerti apa arti kata ruptur. Luna sudah siap dengan sarung tangan di kedua tangannya, luna melihat kepala bayi semakin tampak, cepat luna menahan perineum agar tidak terjadi ruptur.
“Dorong lagi....” perintah mbah surti. Luna tidak mampu menahan mbah surti...
Tapi tiba-tiba kepala bayi keluar dengan sangat cepat, luna gemetar...
“Tarik, Cepat....!” teriak mbah surti. Luna membersihkan wajah bayi itu dengan kain kasa steril. Luna ingat setelah kepala bayi keluar bersihkan mata dan hidung dengan kain kasa steril selanjutnya menunggu kepala bayi berputar menurut sumbunya.
“ Cepat tarik....nanti bayinya mati...!!” lagi-lagi mbah surti membuyarkan luna. Situasi panik ini membuat tangan luna bergetar dan tampak tidak berdaya.
Luna menarik kepala bayi dengan kedua tangannya, tapi karena licin pegangannya lepas. Dicobanya lagi, ditariknya kepala bayi tidak tahu apakah posisi bayi sudah berada pada sumbu yang benar, tapi bayi tidak mau keluar...jantung luna berkejar-kejaran dengan waktu. Kenapa tidak bisa keluar....Luna mencoba lagi dan bayi tetap tidak mau keluar juga...Tuhan!!! tolonglah aku....aku mohon, bathin luna. Keringat mengucur dari pelipisnya. Tampak semua mata mengarah pada luna. Mbah surti menatapnya tajam...
bersambung
Home » BIDAN Story » BU BIDAN (2)
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar