Di perkotaan, kesadaran ibu-ibu hamil untuk memilih jasa dokter kandungan dalam menangani persalinan mereka lebih tinggi ketimbang ibu-ibu yang tinggal di perdesaan. Kondisi itu terbilang wajar. Pasalnya, tingkat kesadaran perempuan yang tinggal di perkotaan terhadap kesehatan reproduksi jauh lebih tinggi ketimbang perempuan-perempuan di perdesaan.
Oleh karena itu, tidak heran apabila rumah sakit menjadi pilihan favorit ibu-ibu hamil di perkotaan dibandingkan dengan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Biaya persalinan di rumah sakit yang jauh lebih tinggi ketimbang di puskesmas tampaknya tidak memengaruhi ibu-ibu di perkotaan untuk tetap memilih melahirkan di rumah sakit.
Bagi mereka, keselamatan ibu dan bayi menjadi faktor yang harus dikedepankan. Sang suami juga kerap mengambil peran dalam pengambilan keputusan tersebut. Siti, 29 tahun, warga lagakarsa, Jakarta Selatan, termasuk salah seorang yang memilih menggunakan jasa dokter kandungan. Ketika menjalani proses persalinan anak pertamanya pada 2007, Siti memercayakannya pada dokter kandungan meski di sekitar tempat tinggalnya ada dukun beranak. "Saya tidak mau mengambil risiko," ujarnya beralasan.
Selain dokter kandungan, ibu-ibu di perkotaan masih memercayakan persalinan mereka pada bidan. Berdasarkan data, proses persalinan di perkotaan yang menggunakan jasa bidan mencapai 61,8 persen, dukun beranak 19,9 persen, dokter umum 3,6 persen, dan dokter spesialis kandungan mencapai 13,6 persen. Di perdesaan, sekitar 49,7 persen persalinan ditangani oleh bidan, sementara 41,6 persen ditangani dukun beranak. Adapun persalinan yang menggunakan jasa dokter umum hanya 0,9 persen dan dokter spesialis kandungan sekitar 4,6 persen.
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa bidan merupakan tenaga medis yang paling banyak dipilih para ibu untuk membantu proses persalinan. Sayangnya, perbandingan antara kebutuhan dan jumlah bidan yang tersedia belum seimbang.
Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menyebutkan jumlah bidan yang ada di Indonesia saat ini mencapai sekitar 104 ribu orang. Padahal, kebutuhan bidan mencapai lebih dari 200 ribu orang. Bidan Weni Andriani, 34 tahun, yang bertugas di Puskesmas Tungge-lan, Banjarnegara, Jawa Tengah, mengatakan masyarakat yang tinggal di perdesaan memang banyak yang memilih bidan dibandingkan dokter untuk membantu proses persalinan.
"Alasannya karena biaya jasa bidan lebih murah dan ada kedekatan emosional," kata Weni. Weni menuturkan dia juga kerap memberikan konseling kepada ibu-ibu hamil pasca kelahiran. Dari perbincangan itulah, kata Weni, terjalin ikatan emosional antara bidan dan ibu serta keluarganya. Lain halnya jika ibu pergi ke dokter. Seusai melahirkan, biasanya tidak ada. lagi konseling atau perbincangan antara ibu dan dokter. Alhasil, ikatan emosional pun tidak dirasakan oleh pasien seusai bersalin.
Mengenai biaya, Weni mengatakan, biaya persalinan dengan menggunakan jasa bidan bervariasi di tiap-tiap daerah dan bergantung pada kondisi perekonomian keluarga ibu yang melahirkan. Biasanya tarif yang dibebankan mencapai 100 sampai 300 ribu rupiah. Longgarnya biaya persalinan itu menjadi salah satu hal yang mendorong masyarakat untuk menggunakan jasa bidan dalam membantu persalinan.
Tidak hanya itu, sering terjadi pula pembayaran jasa bidan itu tidak menggunakan uang, melainkan dengan benda-benda lain, semisal kain, sarung, atau hewan ternak. Di Sumba Barat, misalnya, berdasarkan penelitian WRI, warga kerap membayar jasa bidan dengan cara barter barang.
http://bataviase.co.id/node/157088
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar