AKHIR TRAGIS PENGABDIAN BIDAN DESA

Bookmark and Share
Bidan desa yang kesohor itu ditemukan tewas dengan beberapa luka tusukan. Pelakunya ternyata tetangga korban.

Rabu tengah hari, Budi Prasetyo (54) yang berdinas di Pemda Kabupaten Bojonegoro pulang ke rumahnya di Desa Balenrejo, Kec. Balen, Bonjonegoro (Jatim). Seperti kebiasaannya, ia mengarahkan sepeda motornya masuk melalui pintu belakang. Namun, pintu belakang terkunci. Ia juga tak mendapati istrinya, Hj. Risjati (54). Lalu, Budi masuk lewat pintu depan. Namun, ia juga tak menjumpai istrinya yang sehari-hari menjadi bidan. Ia bergegas menuju ruang praktik. Begitu pintu terbuka, Budi langsung histeris melihat pemandangan di depannya. Sang istri terlentang tak bernyawa dengan kondisi bersimbah darah. "Seketika itu saya menjerit. Setelah itu saya tak ingat apa-apa lagi,” cerita Budi mengawali kisahnya, di rumahnya di Desa Balenrejo.

Budi yang masih tampak syok sama sekali tak menduga istrinya tewas setragis itu. “Sama sekali tak ada firasat apa pun sebelum kejadian itu,” kata bapak tiga anak yang sehari-hari bertugas di Dinas Infomasi dan Komunikasi (Infokom) ini. Setelah pemakaman istrinya, Budi dan keluarganya diliputi tanda tanya besar. Siapa pelaku pembunuhan bidan desa yang sudah 30 tahun mengabdi ini? "Kalau perampokan jelas tidak mungkin. Soalnya tidak ada barang-barang yang hilang," ungkap Budi.

FIGUR ISTRI IDEAL
Teka-teki kematian Risjati terungkap. Pelakunya adalah tiga pemuda tetangga korban. Yaitu Rochmad sebagai otak, Hendra sang eksekutor, dan Suwidji yang turut membantu pembunuhan itu. Rochmad mengaku sakit hati dan dendam karena ibunya, Mbok Poni yang berprofesi sebagai dukun bayi, pernah dibentak-bentak Risjati saat menangani persalinan. Ketika tahu pelaku adalah tetangga dekat, Budi mengaku geregetan. "Rasanya saya tak percaya. Kok tega-teganya mereka berbuat keji pada istri saya. Wong kalau mereka sakit, istri saya yang ngobati," kata Budi.

Soal Rochmad yang mendendam istrinya, Budi juga sangat menyesalkan. Diakui Budi, istrinya memang pernah menegur ibu Rochmad. "Wajar, kan, istri saya sebagai pembina dukun bayi memberi tahu kalau memang ada kesalahan. Gitu saja sampai membalas dengan cara membunuh,” sesal Budi.

Hingga sekarang, Budi belum bisa menghapus duka yang teramat dalam. "Rasanya, ibu anak-anak masih ada," tuturnya sendu. Namun, Budi berusaha menerima kenyataan pahit ini. "Manusia ini, kan, hanya wayang, sedangkan Tuhan adalah dalangnya. Jadi, apa pun yang dikehendaki Tuhan, saya harus menerima dengan ikhlas." Yang pasti, sampai saat ini ia tak mampu melupakan kenangan manis bersama mendiang istrinya. Budi menilai, istrinya merupakan figur istri yang ideal. “Bukan hanya sabar, tapi dia hebat dalam mengatur rumah tangga, termasuk mendidik anak,” pujinya.

Setelah mengarungi bahtera rumah tangga selama 30 tahun lebih, semua kenangan terasa manis. "Bukan hanya kepada keluarga, pada semua orang istri saya selalu baik. Dia sangat dikenal di kecamatan Balen. Tak pernah, kok, istri saya menentukan ongkos persalinan. Kalau orang tak mampu, dia menerima berapa pun yang diberikan."

SAJIAN SPESIAL
Kekaguman Adi Setyo (26), anak sulung Risjati pada ibu tercinta tak henti-henti diungkapkan. "Ibu benar-benar hebat. Dia tipe ibu yang lembut mendidik anak-anak. tk pernah Ibu memarahi kami bila tak belajar. Tapi dengan pendekatan pada kami, tanpa disuruh pun kami tahu kewajiban," ujar sarjana Teknik Kimia ITS ini. Berkat ibunya pula, lanjut Adi, dua adiknya Setyo Wahyu dan Suci Harini berprestasi bagus di kampus dan sekolahnya. Pertemuan Adi terakhir dengan ibu tercinta terjadi Minggu, tiga hari setelah kejadian. Seperti biasa, pria yang bekerja di sebuah perusahaan susu di Semarang ini pulang ke rumah sebulan sekali. "Tanpa janjian, adik saya yang tinggal di Surabaya juga pulang. Kami pun bisa kumpul bersama," imbuh Adi.
Dalam pertemuan itu, ujar Adi, ia merasa bahagia. Apalagi ibunya menyiapkan masakan spesial berupa ayam goreng untuknya. Sambil menikmati sajian istimewa, "Kami ngobrol-ngobrol. Kebetulan tahun ini saya mau menikah. Nah, rencana perkawinan itu menjadi salah satu topik pembicaraan,” ungkap Adi yang tampak tabah. Begitu tabahnya, Adi tak ingin lagi membahas pelaku dan motivasinya membunuh sang ibu. "Saya terima semuanya. Biarlah Ibu tenang di alam sana. Soal siapa pelaku, biarlah itu menjadi urusan yang berwajib," cetus Adi. Satu lagi kekaguman Adi pada ibunya, "Beliau sangat dicintai dan dipercaya masyarakat. Buktinya, hampir 50 persen kelahiran di kecamatan Balen, ibu yang menangani persalinannya. Ibu memang termasuk bidan senior. Sudah 30 tahun Ibu jadi bidan," papar Adi.

BERDALIH BELA IBU
Ketika memeriksa Tempat Kejadian Perkara (TKP), petugas menemukan celana berlumuran darah yang tertinggal di rumah korban. Polisi pun segera mengubek-ubek pemilik celana itu. Semula kecurigaan mengarah pada Suwidji (25). Pasalnya pemuda itu menghilang setelah kejadian.

"Kami mencurigainya karena dia mantan bromocorah. Selain itu, celana yang tertinggal, ukurannya hampir sama dengan tubuhnya," kata Kaurreskrim Polres Bojonegoro, Iptu Henri Tri Anggoro, mendampingi Kapolres AKBP Coki Manurung. Berbekal data itu, petugas melacak Suwidji ke tempat kerjanya di Tandes, Surabaya. Setelah diinterogasi, "Ternyata dugaan kami tak meleset. Dia mengaku terlibat, tapi eksekutornya adalah Hendra. Ternyata, celana itu milik Hendra. Dia disuruh membunuh oleh Rochmad. Kami pun berhasil menciduk Hendra dan Rochmad di rumahnya," ujar Henri yang menjerat tersangka dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Rochmad (28) mengaku dendam pada korban bukan karena persaingan bisnis seperti isu yang pernah beredar. "Saya hanya membela Ibu. Enam bulan lalu, saya pernah dilapori Ibu. Katanya dia habis dimarahi korban karena salah menangani persalinan. Akibatnya bayi yang ditangani Ibu mati," ujarnya sambil cengengesan. Mendengar laporan ibunya, "Semula saya biasa-biasa. Bahkan saya sempat menasihati Ibu agar kejadian itu tak dimasukkan ke hati," lanjut tukang batu ini.

Anehnya, beberapa bulan kemudian, kata-kata ibunya terngiang kembali. Bahkan, ia mulai mendendam Risjati yang biasa ia sapa Bu Ris. “Enggak tahu ya, pokoknya lama-kelamaan hati saya tak terima dengan perlakuan Bu Ris,” aku Rochmad polos.

PURA-PURA BEROBAT
Tak hanya sakit hati, Rochmad bahkan berniat menghabisi bidan yang kesohor di kecamatan itu. Hanya saja ia tak berani melakukan sendiri. Tiga hari sebelum kejadian, "Saya katakan rencana saya pada Hendra, sahabat saya. Saya minta tolong agar dia bersedia membunuh Bu Ris."
Agar Hendra bersedia memenuhi permintaannya, Rochmad sengaja menjanjikan memberikan imbalan Rp 3 juta. Padahal, lanjut Rochmad, ia jelas tidak mungkin punya uang sebanyak itu. "Penghasilan saya sebagai tukang batu, kan, pas-pasan. Buat makan saja susah."
Rencana Rochmad, setelah eksekusi berhasil, ia baru mengaku tak punya uang. "Hitung-hitung saya utang. Soal kapan membayarnya, tak jadi soal. Toh dia tak mungkin lapor polisi ujarnya sambil melirik Hendra. Ia pun tertawa. Hendra (25) mengaku termakan bujuk rayu Rochmad. Bapak satu anak ini bersedia jadi eksekutor. "Karena saya dijanjikan uang, saya mau saja. Agar rencana tambah mulus, saya mengajak Suwiji. Rencananya, kalau dapat uang dari Rochmad, dia akan saya bagi,"ujarnya sambil menunjuk Wiji yang ada di sebelahnya.

Menyambung cerita Hendra, Wiji (25) mengatakan, "Saya bari diberi tahu tiga jam sebelum kejadian. Waktu dijemput Hendra untuk menemui Rochmad, dia enggak bilang apa-apa," ujarnya tertunduk lesu. Dalam pertemuan itu, mereka berbagi tugas. Rochmad bertugas mengawasi pintu depan rumah Risjati, Wiji mengawasi pintu belakang, dan Hendra sebagai eksekutor. Mereka pun menuju rumah Risjati. Suasana siang itu sepi. Hendra segera masuk ke dalam rumah. Untuk mengelabui Risjati, ia pura-pura akan berobat. “Saya sakit flu dan batuk, Bu,” kata sopir truk ini. Suwidji yang berada di luar nyelonong masuk rumah dan langsung menutup pintu belakang. Ruang belakang Risjati memang perlu diamankan karena dijadikan tempat bersalin. Kebetulan saat itu ada yang baru saja melahirkan. "Saat saya masuk, Bu Ris tidak tahu.

Mereka sudah masuk ruang praktik," kata Wiji. Menurut Hendra, aksi pembunuhan tersebut berlangsung singkat. Setelah memeriksa, Risjati mengambil obat di kotak obat dengan posisi membelakangi Hendra. Saat inilah Hendra beraksi. Ia mengambil pisau di balik bajunya. Sambil memeluk tubuh korban dari belakang, ia menghujamkan belati ke dadanya.

"Bu Ris sempat melawan. Dalam satu pergulatan dia terjengkang. Dia pun saya tusuk lagi," ujar Hendra yang segera meninggalkan tempat itu. Karena celananya berlepotan darah, Hendra masuk ke kamar Budi. "Saya mengambil celana Budi dan memakainya." Celana bernoda darah itu ia selipkan di antara almari di ruang belakang. Hendra merasa aman. Tanpa ia sadari, dari celana bersimbah darah ini polisi berhasil membongkar kasus ini. Sekarang Hendra mengaku menyesal. Padahal, ujarnya, "Selama ini Bu Ris baik pada saya. Ketika istri saya melahirkan, Bu Ris juga yang menolong. Entah kenapa saya bisa mata gelap seperti itu. Ya, saya terbujuk gara-gara uang Rp 3 juta."

Usai kejadian, Rochmad mengaku tenang-tenang saja. Bahkan untuk mengelabui masyarakat, "Saya juga ikut melayat. Malam harinya saya juga ikut pengajian di rumahnya."

http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=1651
images by http://www.banjarmasinpost.co.id


{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar