BIDAN SEBAGAI AGEN PERUBAHAN

Bookmark and Share

Siapa orang yang dipercaya masyarakat di desa setelah perangkat desanya? Boleh jadi orang itu adalah bu bidan.

Namun, mendapat kepercayaan masyarakat bukan hal mudah, terutama untuk bidan baru. Di desa, dukun biasanya lebih disukai masyarakat. Kebiasaan setempat yang kurang menguntungkan bagi kesehatan ibu dan anak usia balita juga kerap jadi penghalang kerja bidan. Meski begitu, bidan dapat menjadi agen perubahan bagi masyarakat setempat.

”Kebiasaan setempat, anak usia kurang dari tiga bulan tidak boleh keluar rumah. Akibatnya, banyak bayi tidak mendapat imunisasi,” papar bidan Husniar dari Desa Jorong Siguntur, Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.

Husniar adalah satu dari 10 bidan desa yang diundang ke Jakarta mengikuti program Pos Bhakti Bidan Terbaik Srikandi Award Desember lalu.

”Persalinan lebih banyak ditolong dukun, lebih dari 90 persen pada tahun 2000,” tambah Husniar. ”Kata ibu-ibu yang melahirkan, dukun lebih telaten merawat, datang berkali-kali, dan perawatannya paripurna hingga setelah melahirkan,” kata bidan Bimoarti dari Desa Wilalung, Kecamatan Gajah, Demak.

Para bidan umumnya mendapati masalah kesehatan ibu hamil dan anak balita cukup serius ketika pertama kali bertugas.

Siti Aminah yang bertugas di Desa Loa Janan Ulu, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, harus berhadapan dengan kenyataan masyarakat setempat lebih percaya kepada dukun yang dapat mengusir ”roh halus”. Kepercayaan baru beralih kepada dia ketika seorang anak yang tidak dapat disembuhkan dukun berhasil sembuh ketika dibawa ke puskesmas.

Martha Sukarti dari Desa Slagi, Pakis Aji, Jepara, mendapati tuberkulosis dan berat badan kurang diidap anak balita dan orang dewasa. Syarifah Ningsih dari Kelurahan Tuan-tuan, Kecamatan Benua Kayong, Kabupeten Ketapang, Kalimantan Barat, menemukan masalah infeksi cacing, karies gigi pada anak-anak usia 1-6 tahun, dan pendidikan anak usia dini. ”Saya mengupayakan agar orangtua mau memanfaatkan posyandu,” kata Syarifah.

Bukan hanya tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi yang menyebabkan masalah pada ibu dan anak, para bidan juga harus menghadapi kendala budaya.

Dari 50 ibu hamil, 30 orang di antaranya mengalami anemia di Sendangguwo, Kelurahan Gemah, Semarang. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan keluarga. ”Bapak diutamakan saat makan, anak dapat sisa dari bapak, dan ibu belakangan sekali,” papar Yuninda Asih Wilangsari, bidan praktik swasta sejak tahun 2000, di Sendangguwo.

”Anak usia balita tidak boleh makan ikan karena katanya akan cacingan, padahal ikan sumber protein penting,” kata Husniar.

Agen perubahan
Dengan kesabaran dan belajar dari pengalaman para bidan perlahan-lahan mengajak masyarakat mengubah perilaku menuju gaya hidup lebih rasional.
Cara mereka bermacam-macam. Bimoarti mulai lebih dari dua tahun terakhir mengubah pendekatan. Belajar dari dukun melahirkan, dia juga memberi layanan lengkap hingga pascamelahirkan. Pendekatan juga dilakukan kepada perangkat desa dan masyarakat untuk membentuk Forum Kesehatan Desa. Begitu juga dilakukan Husniar dan Siti Aminah untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI).

Para bidan juga mencari cara untuk menarik minat ibu-ibu membawa anak balita mereka ke posyandu. Salah satunya dengan memberi pelatihan pemenuhan kebutuhan praktis, seperti cara memasak makanan untuk anak balita. Atau menyediakan air bersih bagi rumah tangga di desa seperti yang dilakukan bidan Listiyani Ritawati dari Desa Sambeng, Sambirejo, Gunung Kidul. Dengan membuat sumur bor, dia mengajak masyarakat desa mengamalkan hidup bersih supaya tidak kena penyakit kulit dan diare dan para ibu hamil tak terancam keguguran karena harus mengambil air bersih dari sumur yang jaraknya dua kilometer dari desa.

”Bidan berperan dalam upaya pemeliharaan dan pencegahan penyakit, bukan hanya kuratif,” kata Siti Aminah.

Dalam konteks pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), bidan desa sangat berperan dalam mencapai tujuan keempat MDGs, yaitu menurunkan angka kematian bayi, dan tujuan kelima, yaitu memperbaiki kesehatan ibu hamil.

AKI di Indonesia masih 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi (AKB) 34 per 1.000 kelahiran hidup. Angka itu tertinggi di ASEAN.

Untuk mencapai MDGs, Pemerintah Indonesia menargetkan AKI sebesar 102 dan AKB sebesar 23 pada tahun 2015.

Masalahnya, meskipun jumlah bidan bertambah, distribusi dan keahliannya tidak merata. Kajian Elan Satriawan, pengajar ilmu ekonomi Universitas Gadjah Mada, dan kawan-kawan bekerja sama dengan Bank Dunia, memperlihatkan, antara tahun 1996 dan 2006 ada kenaikan dari 35 menjadi 37 bidan per 100.000 penduduk. Perbandingannya cukup menggembirakan karena jumlah bidan di pedesaan lebih banyak daripada di perkotaan.

Meski begitu, di Jawa dan Bali perbandingan antara bidan dan jumlah penduduk lebih rendah daripada di luar Jawa-Bali. Di Jawa dan Bali pula rasio bidan dan jumlah penduduk untuk perdesaan menurun, sementara di perkotaan meningkat. Di luar Jawa, Bali, dan Sumatera, rasionya malah menurun untuk bidan di perkotaan.

Data lain memperlihatkan, meskipun ada peningkatan signifikan pengetahuan tenaga kesehatan, untuk perawatan prakelahiran pengetahuan yang dimiliki masih separuh pengetahuan yang dibutuhkan. Padahal, layanan tersebut layanan dasar.

Sumber
Ninuk Mardiana Pambudy. Bidan, agen perubahan. Diunduh tgl 16 april 2010; tersedia di
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/05/04115762/bidan.agen.perubahan


{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar