SEKSUAL TRANSMITED DISEASE (STD) / PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

Bookmark and Share
Penyakit kelamin sudah lama dikenal di beberapa negara, terutama yang paling populer di antaranya adalah Sifilis dan Gonorrhoe. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, makin banyak juga ditemukan jenis-jenis penyakit baru, sehingga istilah Penyakit Kelamin yang dulu banyak disebut sudah dianggap tidak sesuai lagi dan diubah menjadi Seksually Transmited Disease (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS).

Karena pada kenyataanya penyakit-penyakit tersebut tidak hanya mengenai juga organ-organ yang lain.Dari tahun ke tahun insiden PMS bisa dikatakan semakin meningkat, terbukti dari data yang diperoleh terlihat setiap tahun tidak kurang dari 250 kasus baru ditemukan dan dari jumlah tersebut 30-50% merupakan penyakit-penyakit yang tergolong PMS. Peningkatan Insident tersebut secara tidak langsung juga terjadi karena semakin banyaknya kelompok perilaku-perilaku berisiko tinggi, seperti : anak-anak usia remaja, PSK (Pekerja Seks Komersial), pecandu narkotika, kaum homoseksual, dll.

Defenisi PMS
Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah : Suatu gangguan/ penyakit-penyakit yang ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui kontak atau hubungan seksual. Pertama sekali penyakit ini sering disebut ‘Penyakit Kelamin’ atau Veneral Disease, tetapi sekarang sebutan yang paling tepat adalah Penyakit Hubungan Seksual/ Seksually Transmitted Disease atau secara umum disebut Penyakit Menular Seksual (PMS).

Beberapa Penyakit Menular Seksual yang sering ditemukan di Indonesia antara lain:
1. Disebabkan oleh Bakteri : Gonorrhoe, Sifilis, Urethritis, Vaginosis Bakterial
2. Disebabkan Virus : AIDS, Herpes Genitalis, Hepatitis B, Kondiloma Akuminata
3. Disebabkan oleh Jamur : Kandidiasis Vaginosis
4. Disebabkan oleh Parasit : Scabies, Pedikulosis Pubis

Pencegahan PMS
Prinsip utama dari pengendalian Penyakit Menular Seksual secara prinsip ada dua, yaitu:
a. Memutuskan rantai penularan infeksi PMS
b. Mencegah berkembangnya PMS serta komplikasi-komplikasinya.

Gejala awal yang menjadi pertanda PMS, diantaranya :
1. benjolan atau lecet di sekitar alat kelamin
2. gatal atau sakit di sekitar alat kelamin
3. bengkak atau merah di sekitar alat kelamin
4. rasa sakit atau terbakar saat buang air kecil
5. buang air kecil lebih sering dari biasanya
6. demam, lemah, kulit menguning dan rasa nyeri sekujur tubuh
7. kehilangan berat badan, diare dan keringat malam hari
8. keluar cairan dari alat vital yang tidak biasa, berbau dan gatal
9. pada wanita keluar darah di luar masa menstruasi dll

Pencegahan yang bisa dilakukan antara lain :
a. Tidak melakukan hubungan seks, tidak berganti-ganti pasangan, menggunakan kondom setiap hubungan seks
b. Menghindari transfusi darah dengan donor yang tidak jelas asal-usulnya
c. Kebiasaan menggunakan alat kedokteran maupun non medis yang steril

Komplikasi dari PMS (termasuk AIDS) antara lain :
1. Kemandulan baik pria atau wanita
2. Kanker leher rahim pada wanita
3. Kehamilan di luar rahim
4. Infeksi yang menyebar
5. Bayi lahir dengan kelahiran yang tidak seharusnya, seperti lahir sebelum cukup umur, berat badan lahir rendah, atau terinfeksi PMS

Perempuan lebih rentan tertular PMS dibandingkan dengan laki-laki. Alasan utamanya adalah:
1. Saat berhubungan seks, dinding vagina dan leher rahim langsung terpapar oleh cairan sperma. Jika sperma terinfeksi oleh PMS, maka perempuan tsb pun bisa terinfeksi
2. Jika perempuan terinfeksi PMS, dia tidak selalu menunjukkan gejala. Tidak munculnya gejala dapat menyebabkan infeksi meluas dan menimbulkan komplikasi
3. Banyak orang — khususnya perempuan dan remaja — enggan untuk mencari pengobatan karena mereka tidak ingin keluarga atau masyarakat tahu mereka menderita PMS.

Jenis-jenis PMS
1. GO atau kencing nanah
2. Klamidia
3. Herpes kelamin
4. Sifilis atau raja singa
5. Jengger ayam
6. HIV/AIDS

1. GONORE Definisi
infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri doplococcus gram-negatif Neisseria gonorrhoeae. Bakteri ini melekat dan menghancurkan membran sel epitel yang melapisi selaput lendir terutama epitel yang melapisi kanalis endoserviks dan uretra. Infeksi ekstra genital di faring, anus, dan rektum dapat dijum[pai pada kedua jenis kelamin. Untuk dapat menular, harus terjadi kontak langsung mukosa ke mukosa. Penularan dari laki-laki ke perempuan lebih sering terjadi dari pada penularan dari perempuan ke laki-laki karena lebih luasnya selaput lendir yang terpajan dan eksudat yang berdiam lama di fagina. Setelah terinokulasi, infeksi dapat menyebar ke prostat, vas deferens, vesikula seminalis, epydydymis, dan testis pada pria, uertra, tuba fallopi , endometrim, dan rongga peritonium pada perempuan.

Epidemiologi
Angka infeksi paling tinggi pada kaum muda, dengan yang tertinggi pada perempuan berusia 15-19 tahun dan laki-laki berusia 20-24 tahun, dan pada laki-laki yang berhubungan seksual dengan sesama jenis.

Gejala dan tanda
Respon peradangan yang cepat disertai dekstruksi sel menyebabkan keluarnya sekret purulen kuning kehijauan khasdari uretra pada pria dan ostium serviks pada perempuan. Gejala dan tanda pada laki-laki dapat muncul 2 hari setelah pajanan dan mulai dengan uretritis, didikuti oleh sekret yang purulen, disuria, sering berkemih dan malaise, gatal-gatal pada anus sedangkan pada perempuan, gejala dan tanda timbul dalam 7-21 hari yang dimulai dengan sekret vagina, nyeri abdomen, nyeri rectum, gatal, dan tenesmus. Pada pemeriksaan, serviks tampak edematous dan rapuh dan drainase mukopurulen dari ostium.
Infeksi ekstragenital yang bersifat primer atau sekunder lebih sering dijumpai karena berubahnya paraktek-praktek seksual. Infeksi gonokokus di farinhg lebih sering asimptomatik tapi dapat juga menyebabkan faringitis dengan eksudat mukopurulen, demam, dan limfodenopati leher.

Pemeriksaan diagnostik
Gonore dapat didiagnosis dengan cepat dengan pewarnaan gram terhadap apusan eksudat yang diambil dari tempat infeksi. Apusan positif bila ditemukan diplokoccus gram negatif intra sel. Untuk memastikan diagnosis harus dilakukan pembiakan dari semua kemungkinan tempat infeksi. Uji-uji amplikasi DNA dengan metode reaksi berantai polimerase (PCR) dan reaksi berantai ligase (LCR) lebih sensitif dibandingkan biakan bakteri dan dapat digunakan sekret vagina atau serviks dan dapat digunakan urin . uji-uji non-biakan misalnya deteksi antigen dengan antibodi imunofluerensensi lansung (DFA) dan enzyme imunosorbent assay (EIA) kurang dikembangkan dan jarang digunakan.

Terapi
Gonorea dapat disembuhkan dengan penisilin mulai tahun 1940-an, namun sekarang banyak brkembang galur-galur gonorea yang resisten panisilin. Terapi yang saat ini direkomendasikan adalah golonga sefalosporin dan fluorokuinolon . Semua kontak seksual pasien yang terinfeksi harus dievaluasi dan ditawarkan terapi profilaktik.

2. Sifilis Definisi
Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum.

Penyebab
Bakteri Treponema pallidum. Bakteri ini masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat, kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Sifilis juga bisa menginfeksi janin selama dalam kandungan dan menyebabkan cacat bawaan. Seseorang yang pernah terinfeksi oleh sifilis tidak akan menjadi kebal dan bisa terinfeksi kembali.

Gejala
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 1-13 minggu setelah terinfeksi; rata-rara 3-4 minggu. Infeksi bisa menetap selama bertahun-tahun dan jarang menyebabkan kerusakan jantung, kerusakan otak maupun kematian.

Infeksi oleh Treponema pallidum berkembang melalui 4 tahapan:
1. Fase Primer. Terbentuk luka atau ulkus yang tidak nyeri (cangker) pada tempat yang terinfeksi; yang tersering adalah pada penis, vulva atau vagina. Cangker juga bisa ditemukan di anus, rektum, bibir, lidah, tenggorokan, leher rahim, jari-jari tangan atau bagian tubuh lainnya. Biasanya penderita hanya memiliki1 ulkus, tetapi kadang-kadang terbentuk beberapa ulkus. Cangker berawal sebagai suatu daerah penonjolan kecil yang dengan segera akan berubah menjadi suatu ulkus (luka terbuka), tanpa disertai nyeri. Luka tersebut tidak mengeluarkan darah, tetapi jika digaruk akan mengeluarkan cairan jernih yang sangat menular. Kelenjar getah bening terdekat biasanya akan membesar, juga tanpa disertai nyeri. Luka tersebut hanya menyebabkan sedikit gejala sehingga seringkali tidak dihiraukan. Luka biasanya membaik dalam waktu 3-12 minggu dan sesudahnya penderita tampak sehat secara keseluruhan.

2. Fase Sekunder. Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit, yang muncul dalam waktu 6-12 minggu setelah terinfeksi. Ruam ini bisa berlangsung hanya sebentar atau selama beberapa bulan. Meskipun tidak diobati, ruam ini akan menghilang. Tetapi beberapa minggu atau bulan kemudian akan muncul ruam yang baru. Pada fase sekunder sering ditemukan luka di mulut. Sekitar 50% penderita memiliki pembesaran kelenjar getah bening di seluruh tubuhnya dan sekitar 10% menderita peradangan mata. Peradangan mata biasanya tidak menimbulkan gejala, tetapi kadang terjadi pembengkakan saraf mata sehingga penglihatan menjadi kabur. Sekitar 10% penderita mengalami peradangan pada tulang dan sendi yang disertai nyeri. Peradangan ginjal bisa menyebabkan bocornya protein ke dalam air kemih.
Peradangan hati bisa menyebabkan sakit kuning (jaundice). Sejumlah kecil penderita mengalami peradangan pada selaput otak (meningitis sifilitik akut), yang menyebabkan sakit kepala, kaku kuduk dan ketulian. Di daerah perbatasan kulit dan selaput lendir serta di daerah kulit yang lembab, bisa terbentuk daerah yang menonjol (kondiloma lata). Daerah ini sangat infeksius (menular) dan bisa kembali mendatar serta berubah menjadi pink kusam atau abu-abu.
Rambut mengalami kerontokan dengan pola tertentu, sehingga pada kulit kepala tampak gambaran seperti digigit ngengat. Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan anemia.

3. Fase Laten. Setelah penderita sembuh dari fase sekunder, penyakit akan memasuki fase laten dimana tidak nampak gejala sama sekali. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali muncul .

4. Fase Tersier. Pada fase tersier penderita tidak lagi menularkan penyakitnya.
Gejala bervariasi mulai ringan sampai sangat parah. Gejala ini terbagi menjadi 3 kelompok utama :

Sifilis tersier jinak.
Pada saat ini jarang ditemukan. Benjolan yang disebut gumma muncul di berbagai organ; tumbuhnya perlahan, menyembuh secara bertahap dan meninggalkan jaringan parut. Benjolan ini bisa ditemukan di hampir semua bagian tubuh, tetapi yang paling sering adalah pada kaki dibawah lutut, batang tubuh bagian atas, wajah dan kulit kepala. Tulang juga bisa terkena, menyebabkan nyeri menusuk yang sangat dalam yang biasanya semakin memburuk di malam hari.

Sifilis kardiovaskuler.
Biasanya muncul 10-25 tahun setelah infeksi awal. Bisa terjadi aneurisma aorta atau kebocoran katup aorta. Hal ini bisa menyebabkan nyeri dada, gagal jantung atau kematian.

Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemeriskaan laboratorium dan pemeriksaan fisik.

Ada 2 jenis pemeriksaan darah yang digunakan:
1. Tes penyaringan : VDRL (venereal disease research laboratory) atau RPR (rapid plasma reagin). Tes penyaringan ini mudah dilakukan dan tidak mahal. Mungkin perlu dilakukan tes ulang karena pada beberapa minggu pertama sifilis primer hasilnya bisa negatif.
2. Pemeriksaan antibodi terhadap bakteri penyebab sifilis. Pemeriksaan ini lebih akurat. Salah satu dari pemeriksaan ini adalah tes FTA-ABS (fluorescent treponemal antibody absorption), yang digunakan untuk memperkuat hasil tes penyaringan yang positif.
Pada fase primer atau sekunder, diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap cairan dari luka di kulit atau mulut. Bisa juga digunakan pemeriksaan antibodi pada contoh darah. Untuk neurosifilis, dilakukan pungsi lumbal guna mendapatkan contoh cairan serebrospinal. Pada fase tersier, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksan antibodi.

Pengobatan
Penderita sifilis fase primer atau sekunder bisa menularkan penyakitnya, karena itu penderita sebaiknya menghindari hubungan seksual sampai penderita dan mitra seksualnya telah selesai menjalani pengobatan. Pada sifilis fase primer, semua mitra seksualnya dalam 3 bulan terakhir terancam tertular. Pada sifilis fase sekunder, semua mitra seksualnya dalam 1 tahun terakhir terancam tertular. Mereka harus menjalani tes penyaringan antibodi dan jika hasilnya positif, mereka perlu menjalani pengobatan. Antibiotik terbaik untuk semua fase sifilis biasanya adalah suntikan penisilin.

Prognosis
Setelah menjalani pengobatan, prognosis untuk sifilis fase primer, sekunder dan fase laten adalah baik. Prognosis untuk sifulis fase tersier pada hati atau otak adalah buruk, karena kerusakan yang telah terjadi biasanya tidak dapat diperbaiki.

3. Herpes Genitalis
Herpes Genitalis adalah suatu penyakit menular seksual di daerah kelamin, kulit di sekeliling rektum atau daerah di sekitarnya yang disebabkan oleh virus herpes simpleks.

Etiologi:
Penyebabnya adalah virus herpes simpleks.
Ada 2 jenis virus herpes simpleks yaitu HSV-1 dan HSV-2. HSV-2 biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan HSV-1 biasanya menginfeksi mulut. Kedua jenis virus herpes simpleks tersebut bisa menginfeksi kelamin, kulit di sekeliling rektum atau tangan (terutama bantalan kuku) dan bisa ditularkan ke bagian tubuh lainnya (misalnya permukaan mata). Luka herpes biasanya tidak terinfeksi oleh bakteri, tetapi beberapa penderita juga memiliki organisme lainnya pada luka tersebut yang ditularkan secara seksual (misalnya sifilis atau cangkroid).

Gejala
Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala awal biasanya berupa gatal, kesemutann dan sakit. Lalu akan muncul bercak kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar. Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam berkemih dan ketika berjalan akan timbul nyeri. Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa meninggalkan jaringan parut. Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak membesar. Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan gejala berikutnya dan mungkin disertai dengan demam dan tidak enak badan. Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis, termasuk kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan luka bisa terbentuk di vulva dan leher rahim. Jika penderita melakukan hubungan seksual melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa terbentuk di sekitar anus atau di dalam rektum. Pada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita infeksi HIV), luka herpes bisa sangat berat, menyebar ke bagian tubuh lainnya, menetap selama beberapa minggu atau lebih dan resisten terhadap pengobatan dengan asiklovir.

Gejala-gejalanya cenderung kambuh kembali di daerah yang sama atau di sekitarnya, karena virus menetap di saraf panggul terdekat dan kembali aktif untuk kembali menginfeksi kulit. HSV-2 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf panggul. HSV-1 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf wajah dan menyebabkan fever blister atau herpes labialis. Tetapi kedua virus bisa menimbulkan penyakit di kedua daerah tersebut. Infeksi awal oleh salah satu virus akan memberikan kekebalan parsial terhadap virus lainnya, sehingga gejala dari virus kedua tidak terlalu berat.

Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Untuk memperkuat diagnosa, diambil apusan dari luka dan dibiakkan di laboratorium. Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi terhadap virus.

Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan herpes genitalis, tetapi pengobatan bisa memperpendek lamanya serangan. Jumlah serangan bisa dikurangi dengan terus menerus mengkonsumsi obat anti-virus dosis rendah. Pengobatan akan efektif jika dimulai sedini mungkin, biasanya 2 hari setelah timbulnya gejala. Asikovir atau obat anti-virus lainnya bisa diberikan dalam bentuk sediaan oral atau krim untuk dioleskan langsung ke luka herpes. Obat ini mengurangi jumlah virus yang hidup di dalam luka sehingga mengurangi resiko penularan. Obat ini juga bisa meringankan gejala pada fase awal. Tetapi pengobatan dini pada serangan pertama tidak dapat mencegah kambuhnya penyakit ini.

4. Uretritis Non-Gonokokus & Servisitis Klamidialis
Uretritis Non-Gonokokus dan Servisitis Klamidialis merupakan penyakit menular seksual yang biasanya disebabkan oleh Chlamydia trachomatis atau Ureaplasma urealyticum (pada laki-laki), tetapi kadang-kadang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau virus herpes simpleks. Infeksi ini disebut non-gonokokus untuk menunjukkan bahwa infeksi ini bukan disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, bakteri yang menyebabkan gonore.

Penyebab
Chlamydia trachomatis menyebabkan sekitar 50% infeksi uretra yang bukan disebabkan gonore pada laki-laki dan infeksi leher rahim (serviks) penghasil nanah yang bukan disebabkan gonore pada wanita. Uretritis lainnya disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum, yang merupakan suatu bakteri yang menyerupai mikoplasma. Chlamydia merupakan bakteri kecil yang hanya bisa berkembangbiak di dalam sel. Ureaplasma adalah bakteri yang sangat kecil, dengan dinding sel yang tidak terlalu kuat, tetapi bisa berkembang biak di luar sel.

Gejala
Biasanya antara 4-28 hari setelah berhubungan intim dengan penderita, seorang pria akan mengalami perasaan terbakar yang ringan ketika berkemih. Biasanya akan keluar nanah dari penis. Nanahnya bisa jernih atau agak keruh, tetapi lebih encer daripada nanah gonore. Pada pagi hari, lubang penis sering tampak merah dan melekat satu sama lain karena nanah yang mengering. Kadang-kadang penyakit ini dimulai lebih dramatis. Timbul rasa sakit waktu berkemih, frekuensi berkemih menjadi lebih sering dan dari uretra keluar nanah. Meskipun kebanyakan penderita wanita tidak menunjukkan gejala, beberapa diantaranya mengalami urgensi (desakan) berkemih yang lebih sering, rasa nyeri ketika berkemih, nyeri di perut bagian bawah, nyeri pada saat berhubungan intim dan keluarnya lendir kekuningan dan nanah dari vagina. Hubungan seksual melalui mulut atau dubur dengan penderita bisa menyebabkan infeksi tenggorokan atau infeksi dubur. Infeksi ini menyebabkan rasa nyeri dan keluarnya lendir dan nanah yang berwarna kekuningan.

Komplikasi 1. Pria.
a. Epididimitis : infeksi pada epididimis, yang bisa menyebabkan nyeri pada buah zakar. b. Striktur uretra : penyempitan uretra, yang bisa menyebabkan penyumbatan aliran air kemih.
2. Wanita.
Infeksi saluran telur, bisa menyebabkan nyeri, kehamilan ektopik (di luar kandungan) dan kemandulan. Infeksi pembungkus hati dan daerah di sekeliling hati, bisa menyebabkan nyeri perut bagian atas
3. Pada pria dan wanita.
Konjungtivitis : infeksi pada bagian putih mata, bisa menyebakan nyeri mata dan belekan
4. Pada bayi baru lahir.
Konjungtivitis, bisa menyebabkan nyeri mata dan belekan. Pneumonia, bisa menyebabkan demam dan batuk.

Diagnosa
Pada kebanyakan kasus, infeksi oleh Chlamydia trachomatis bisa didiagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan cairan dari penis atau leher rahim di laboratorium. Infeksi Ureaplasma urealyticum tidak dapat didiagnosis secara spesifik dengan pemeriksaan medis yang biasa. Karena pembiakannya sulit dan teknik diagnostik yang lainnya mahal, maka diagnosis infeksi Chlamydia atau Ureaplasma sering ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas disertai bukti yang menunjukkan tidak adanya gonore.

Pengobatan
Biasanya diberikan antibiotik tetrasiklin atau doksisiklin per-oral (melalui mulut), minimal selama 7 hari atau diberikan azitromisin dosis tunggal. Tetrasiklin tidak boleh diberikan kepada wanita hamil.

Prognosis
Pada sekitar 60-70% penderita, jika tidak diobati, infeksi Chlamydia trachomatis akan membaik dalam waktu 4 minggu. Pada sekitar 20% penderita, infeksi kembali kambuh setelah penderita menjalani pengobatan.

5. Infeksi HIV
Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Stadium akhir dari infeksi HIV adalah AIDS.
AIDS adalah suatu keadaan dimana penurunan sistem kekebalan tubuh yang didapat menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh terhadap penyakit sehingga terjadi infeksi, beberapa jenis kanker dan kemunduran sistem saraf. Seseorang yang terinfeksi oleh HIV mungkin tidak menderita AIDS; sedangkan yang lainnya baru menimbulkan gejala beberapa tahun setelah terinfeksi. Infeksi HIV yang berakhir menjadi AIDS, telah menjadi penyebab utama kematian pada anak-anak. Pada tahun 1995 CDC (Centers for Disease Control and Prevention) telah menerima laporan tentang jumlah anak yang terinfeksi oleh HIV pada saat lahir, yaitu sebanyak 5500 anak. Infeksi HIV dan AIDS terutama menyerang dewasa muda, anak-anak atau remaja hanya sekitar 2%.

Penyebab
Penyebab terjadinya infeksi HIV adalah virus HIV-1 atau virus HIV-2 (lebih jarang).
3 cara penularan virus kepada anak-anak:
1. Ketika anak masih berada dalam kandungan
2. Pada saat proses persalinan berlangsung
3. Melalui ASI.

Gejala
Infeksi sebelum selama atau segera setelah lahir, tidak langsung menampakkan gejala.
Pada 10-20% kasus, gejala baru timbul pada saat anak berumur 1-2 tahun; sedangkan pada 80-90% kasus, gejalanya baru timbul beberapa tahun kemudian.
Sekitar 50% anak-anak yang terinfeksi HIV, terdiagnosis menderita AIDS pada usia 3 tahun.

Gejala awal yang biasa ditemukan pada anak yang terinfeksi HIV:
1. Pertumbuhan yang jelek, penurunan berat badan, demam yang berlangsung lama atau berulang, diare yang menetap atau berulang, pembengkakan kelenjar getah bening, pembesaran hati dan limpa, pembengkakan dan peradangan kelenjar liur di pipi
2. Infeksi jamur yang menetap atau berulang (thrush) di mulut atau daerah yang tertutup popok
3. Infeksi bakteri berulang (misalnya infeksi telinga tengah, pneumonia dan meningitis)
4. Infeksi oportunistik virus, jamur dan parasit
5. Keterlambatan atau kemunduran perkembangan sistem saraf.

Sejumlah gejala dan komplikasi bisa timbul karena adanya penurunan sistem kekebalan. Sekitar sepertiga anak-anak yang terinfeksi HIV, menderita peradangan paru-paru (pneumonitis interstisial limfositik), biasanya pada tahun-tahun pertama. Gejalanya berupa batuk atau pembengkakan ujung jari tangan (clubbing), tergantung kepada beratnya penyakit. Pneumonia pneumokistik karena organisme Pneumocystis carinii merupakan ancaman yang serius pada anak-anak. Anak-anak yang terlahir dengan infeksi HIV biasanya mengalami serangan pneumonia pneumokistik minimal 1 kali pada 15 bulan pertama.

Pneumonia pneumokistik merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak dan orang dewasa yang menderita AIDS. Pada sejumlah anak-anak yang terinfeksi oleh HIV, kerusakan otak yang progresif menyebabkan anak mengalami gangguan atau keterlambatan perkembangan, misalnya berjalan dan berbicara. Mereka juga mengalami gangguan kecerdasan serta memiliki kepala yang ukurannya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran tubuhnya.

20% dari mereka mengalami penurunan kemampuan sosial dan berbahasa serta penurunan pengendalian otot. Bisa terjadi kelumpuhan parsial atau langkahnya menjadi goyah atau ototnya menjadi kaku. Beberapa anak menderita hepatitis (peradangan hati) dan gagal ginjal atau gagal jantung. Kanker jarang terjadi pada anak-anak, tetapi kadang ditemukan limfoma non-Hodgkin dan limfoma otak. Sarkoma Kaposi sangat jarang menyerang anak-anak. Bayi yang terlahir dengan infeksi HIV biasanya memiliki berat badan lahir yang rendah. Dalam waktu 2-3 bulan, penambahan berat badannya juga jelek.

Pada anak-anak yang terinfeksi oleh HIV, bisa terjadi infeksi oportunistik berikut;
a. Pneumonia pneumokistik
b. Pneumonia interstisial limfoid (pneumonia yang menjadi kronis dan kadang ditandai dengan batuk serta sesak nafas)
c. Infeksi bakteri
d. Meningitis
e. Infeksi jamur
f. Esofagitis (peradangan kerongkongan)
g. Kandidiasis (infeksi jamur)
h. Infeksi virus
i. Herpes
j. Herpes zoster
k. Infeksi parasit.

Pada anak-anak jarang terjadi keganasan. 2 masalah utama yang sering ditemukan pada anak-anak yang terinfeksi HIV atau menderita AIDS adalah wasting syndrome (ketidakmampuan untuk mempertahankan berat badan akibat berkurangnya nafsu makan sebagai respon terhadap infeksi HIV) dan ensefalopati HIV atau demensia AIDS (infeksi otak yang dapat menyebabkan pembengkakan atau penciutan otak). Wasting syndrome kadang dapat diatasi dengan menjalani konsultasi diet, sedangkan ensefalopati sulit untuk diobati.

Diagnosa
Pada bayi baru lahir, pemeriksaan darah standar untuk antibodi HIV tidak bersifat diagnostik karena jika ibunya terinfeksi HIV, maka darah bayi hampir selalu mengandung antibodi HIV. Antibodi ini akan tetap berada dalam darah bayi selama 12-18 bulan. Jika bayi tidak terinfeksi, maka setelah berumur 18 bulan, antibodi ini akan menghilang; tetapi jika bayi terinfeksi, maka antibodi HIV tetap ditemukan dalam darahnya. Karena itu untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang berumur kurang dari 18 bulan dilakukan pemeriksaan darah khusus, yaitu reaksi rantai polimerase (PCR, polymerase chain reaction), tes antigen p24 atau pembiakan virus HIV. Untuk bayi yang berumur lebih dari 18 bulan dilalukan pemeriksaan darah standar untuk infeksi HIV.

Pengobatan
Semua obat-obatan ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi antara 2 obat atau lebih, Kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup. Dokter kadang sulit menentukan kapan dimulainya pemberian obat-obatan ini. Tapi penderita dengan kadar virus yang tinggi dalam darah harus segera diobati walaupun kadar CD4+nya masih tinggi dan penderita tidak menunjukkan gejala apapun. AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeri abdomen, mual dan sakit kepala (terutama AZT). Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan anemia. ddI, ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak pankreas. Dalam kelompok nucleoside, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling ringan. Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah, diare dan gangguan perut. Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal. Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunnya kadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibitor banyak menyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch).

Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi ooportunistik. Penderita dengan kadar limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mL darah mendapatkan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan infeksi toksoplasma ke otak. Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100 sel/mL darah mendapatkan azitromisin seminggu sekali atau klaritromisin atau rifabutin setiap hari untuk mencegah infeksi Mycobacterium avium. Penderita yang bisa sembuh dari meningitis kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan flukonazol jangka panjang. Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan asiklovir jangka panjang.

Prognosis
Pemaparan terhadap HIV tidak selalu mengakibatkan penularan, beberapa orang yang terpapar HIV selama bertahun-tahun bisa tidak terinfeksi. Di sisi lain seseorang yang terinfeksi bisa tidak menampakkan gejala selama lebih dari 10 tahun.
Tanpa pengobatan, infeksi HIV mempunyai resiko 1-2 % untuk menjdi AIDS pada beberapa tahun pertama. Resiko ini meningkat 5% pada setiap tahun berikutnya.

Resiko terkena AIDS dalam 10-11 tahun setelah terinfeksi HIV mencapai 50%.
Sebelum diketemukan obat-obat terbaru, pada akhirnya semua kasus akan menjadi AIDS.
Pengobatan AIDS telah berhasil menurunkan angka infeksi oportunistik dan meningkatkan angka harapan hidup penderita. Kombinasi beberapa jenis obat berhasil menurunkan jumlah virus dalam darah sampai tidak dapat terdeteksi. Tapi belum ada penderita yang terbukti sembuh. Teknik penghitungan jumlah virus HIV (plasma RNA) dalam darah seperti polymerase chain reaction (PCR) dan branched deoxyribonucleid acid (bDNA) test membantu dokter untuk memonitor efek pengobatan dan membantu penilaian prognosis penderita. Kadar virus ini akan bervariasi mulai kurang dari beberapa ratus sampai lebih dari sejuta virus RNA/mL plasma.
Pada awal penemuan virus HIV, penderita segera mengalami penurunan kualitas hidupnya setelah dirawat di rumah sakit. Hampir semua penderita akan meninggal dalam 2 tahun setelah terjangkit AIDS.

Dengan perkembangan obat-obat anti virus terbaru dan metode-metode pengobatan dan pencegahan infeksi oportunistik yang terus diperbarui, penderita bisa mempertahankan kemampuan fisik dan mentalnya sampai bertahun-tahun setelah terkena AIDS. Sehingga pada saat ini bisa dikatakan bahwa AIDS sudah bisa ditangani walaupun belum bisa disembuhkan.

Pencegahan
Pencegahan penularan HIV dari ibu kepada bayinya dilakukan dengan cara memberikan obat anti-HIV. Kepada ibu hamil yang diketahui terinfeksi HIV, pada trimester kedua dan ketiga (6 bulan terakhir) diberikan AZT per-oral (melalui mulut), sedangkan pada saat persalinan diberikan AZT melalui infus. Kepada bayi baru lahir diberikan AZT selama 6 minggu. Tindakan tersebut telah berhasil menurunkan angka penularan HIV dari ibu kepada bayinya, dari 25% menjadi 8%. Pada persalinan normal, kemungkinan penularan HIV lebih besar, karena itu pada ibu hamil yang terinfeksi HIV kadang dianjurkan untuk menjalani operasi sesar.

Resiko penularan melalui ASI relatif rendah. Jika tersedia susu formula yang baik dan air yang bersih, maka sebaiknya ibu yang terinfeksi HIV tidak memberikan ASI kepada bayinya. Jika air yang tersedia tidak bersih sehingga besar kemungkinannya untuk terjadi diare atau kekurangan gizi, maka sebaiknya ibu tetap memberikan ASI kepada bayinya karena pemberian ASI lebih menguntungkan bagi kesehatan bayinya.

Sumber pustaka:
1. Manuaba. Memahami Kesehatan reproduksi wanita. EGC; Jakarta; 1998.
2. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Bunga rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial, Jakarta.


{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar